Thursday, November 5, 2015

Doh?



Well, yes, “Doh?”

Pernah nonton film seri "That 70's Show"? Udah lama banget sih nontonnya, waktu semuanya masih bau kencur. Yang main itu Topher Grace, Danny Masterson, Laura Prepon, Mila Kunis, Ashton Kutcher, dan Wilmer Valderama. Blog ini saya tulis karena saya keinget adegan di salah satu episodenya.

Di pertengahan Season 7, Eric ngerasa annoyed sama pertanyaan Donna saat bermain “Password”. Donna saat itu bertanya, "How did you get a 'Jedi' from 'Staircase'?" Eric kemudian ngejawab, "Uh, Donna, the path of becoming a Jedi has many steps? doh?" 

Saya sekarang ngerasain hal yang sama, yaitu ngerasa annoyed, meskipun terganggunya dalam hal, suasana, dan kondisi yang sangat berbeda.

Sedikit menambahi dari interjection “doh?” tersebut, saya jadi tercetus bikin sebuah quote.. 

People who dont give shits to other people's shits, should not suggest how to do shits.
Ya, orang yang acuh saat yang lain sedang butuh bantuan, haram hukumnya untuk ngasih saran. Dengan memberikan saran tentang bagaimana cara melakukan sesuatu, tidak akan meringankan beban yang sedang dihadapi melainkan semakin memperburuk keadaan. Sudah banyak sih ceritanya, alih-alih kelihatan cerdas dan bijaksana, hal tersebut malah bikin image yang bersangkutan menjadi buruk karena kelihatan kalau bisanya cuman ngomong doang.

Jaman sekarang itu susah cari yang namanya hati nurani. Kata apa ya lebih tepatnya. Sawang sinawang gitu. Yang otomatis menimbulkan rasa sungkan, sopan santun, kasihan, malu and many other decent personalities kalau ndak membantu mereka yang lagi butuh bantuan. Sangat disayangkan memang, namun fakta di lapangannya seperti itu, malah banyak sekali orang yang lebih mementingkan dirinya sendiri ketimbang orang lain.

Mengutip sebuah artikel di internet:
"Apabila kita bersembunyi di belakang hak-hak kita, kita kerap kali 'melupakan' tanggung jawab kita. ....Individualisme yang menekankan hak-hak pribadi melebihi tanggung jawab pribadi terhadap kolega atau sesama - jangankan masyarakat yang lebih luas - seperti itu, akan merusak dirinya sendiri sekaligus juga kepentingan umum. Individualisme mendefinisikan apa yang baik sebagai apa yang 'menguntungkan'....”
 (Christopher Gleeson, SJ, Menciptakan Keseimbangan, Mengajarkan Nilai dan Kebebasan, Jakarta, Gramedia, 1997, hlm. 7.)
Banyak hal yang mendasari mereka menjadi seseorang yang egois, diantaranya adalah:
  1. Rasa kecewa terhadap para individualis (kalian main individu, saya juga bisa)
  2. Superioritas (merasa paling bisa di antara orang lain)
  3. Egois karena merasa hanya perlu melakukan segala sesuatu yang menguntungkan dirinya sendiri.
Alasan yang pertama dan ketiga muncul saat pribadi tersebut memiliki jiwa yang pamrih, yang selalu punya maksud tersembunyi saat membantu, atau singkatnya mau mengerjakan sesuatu hanya karena imbalan. Namun bedanya, pada poin yang pertama pribadi tersebut kecewa karena hasil kerja kerasnya dinikmati juga oleh orang lain yang egois tadi.

Sedangkan poin kedua hadir saat seorang pribadi tersebut merasa bisa melakukan segalanya sendiri tanpa bantuan orang lain, karena merasa orang lain memiliki kemampuan yang kurang dari dirinya.

Seharusnya manusia sebagai makhluk sosial benar-benar memahami bahwa kita di dunia ini tidak bisa hidup sendiri tanpa adanya bantuan orang lain, karena di atas langit masih ada langit, kita tidak bisa hanya mengandalkan kemampuan kita saja.

Betapa sangat harmonisnya kehidupan kita ketika semua orang mulai mengenyahkan pemikiran egosentris tersebut, karena semua urusan akan dihadapi bersama-sama. Win win solution. Semua pihak senang dan tidak ada lagi rasa sakit hati antara satu sama lain.

Tapi apakah bisa?

Bisa, jika kita semua memulai untuk menanamkan pemikiran “Giving without taking anything back.” Ikhlas dengan segala sesuatunya. Pada umumnya, keegoisan muncul dikarenakan tidak adanya rasa ikhlas sama sekali. Bukan hanya di mulut melainkan di dalam prakteknya juga. Selama masih belum bisa ikhlas dalam melakukan apapun, kita akan sedikit demi sedikit dirongrong oleh keegoisan kita sendiri.

Ketika seseorang individu masih bisa merasa nyaman dengan keegoisannya, lambat laun mereka akan merasakan sendiri kehancurannya. Pelan tapi pasti, seperti sebuah bom waktu, konsekuensi logis akan segera didapatkan.

Sebagai penutup, coba tanyakan apakah kita termasuk orang yang egois atau tidak? Dan apakah hal tersebut menjadikan diri kita menjadi seseorang yang lebih baik. Jika kita memang merasa menjadi orang yang egois, maka berubahlah selagi bisa, jadilah orang yang berguna bagi orang di sekitar anda, kehidupan anda akan semakin menjadi lebih baik.

PS. Cewek saya egoisnya minta ampun, tapi blog ini tidak menceritakan dirinya loh.

0 comments: