Sunday, April 15, 2012

Hikmah di tengah Malam


"Selangkah anak perempuan keluar dari rumah tanpa menutup aurat, maka selangkah juga ayahnya hampir masuk neraka."

Sebuah ungkapan yang mempunyai maksud yang baik namun karena kurangnya pengetahuan dasar tentang berbahasa mengakibatkan terjadinya kesalah-kaprahan. (note: saya juga mungkin banyak mengalami kesalahan pahaman masalah penulisan, jadi maklum saja ya)

Kalo kita telaah lebih lanjut, sebenarnya kita bisa memilah-milah ungkapan di atas menjadi dua bagian. Bagian pertama, adalah bagian si anak yang tidak menutup aurat kemudian ngeluyur. Bagian yang kedua adalah si ayah yang hampir masuk neraka gara-gara anaknya yang keluyuran tidak menutup aurat.

Nah disinilah polemiknya, sempat dibawa ke dalam status seorang teman di facebook untuk dibahas lebih lanjut, saya coba untuk menganalisa sedikit tentang masalah ini. Cukup menggelitik juga kalo misalkan kata selangkah tersebut kita jadikan variabel. Maka ketika variabel tersebut kita ganti dengan bilangan yang lebih besar maka akan berbanding lurus dengan variabel berikutnya. Dengan begitu, maka banyaknya langkah yang dibutuhkan oleh Ayah untuk mendekati neraka semakin besar pula.

Dalam statusnya, teman saya berkata,
brarti lek anak e 1000 langkah kluar rumah tanpa menutup aurat, maka 1000 lagkah juga ayahnya hampir masuk neraka

tambah adoh brarti ya??? (Semakin jauh berarti ya???)

trolololololololol....
.....
Tidak bisa disalahkan juga teman saya berkata seperti itu, karena memang besarannya berbanding lurus satu sama lain. 

Sebenernya pertama kali membaca ungkapan tersebut, kita sudah paham maksud dan tujuannya, bahkan dengan hanya sekali membaca saja. Padahal setelah kita telaah lebih lanjut, ternyata semakin melenceng dari tujuan semula kalimat tersebut. Nah inilah pentingnya berbahasa yang baik dan benar, bahkan untuk masalah yang sangat sensitive (religius) seperti ini. Ketika kita pahami lebih lanjut malah menyesatkan.

Fungsi dari diksi (pemilihan kata yang tepat) sangat signifikan pada kata-kata di atas. Coba kalau penulis menggunakan kata surga, daripada neraka. Maka ungkapan tersebut secara religius bisa diterima oleh akal sehat para pembacanya (dengan asumsi orang tersebut religius) :P). Hal ini sangat berbahaya bagi orang religius yang pinter yang “take anything for granted” (biasanya sih orang yang fanatik, tapi kemudian setelah membaca ungkapan di atas mereka dihadapkan pada paradoks, “haruskah mengikuti ungkapan di atas, atau berpegang teguh pada apa yang diyakini? [menutup aurat.]) 

Kesimpulan dari tulisan ini: Belajarlah berbahasa yang baik dan benar, pastikan kalimat tersebut tidak ambigu yang bisa menimbulkan kesalah pahaman. Terutama kalimat yang bermakna religius. Karena sekarang jamannya sudah edan, banyak sekali orang pinter. Salah kata sedikit akan menimbulkan kesemrawutan, keruwetan, dan parahnya lagi kehancuran.

PS.: tulisan ini hanya sekedar opini atau pendapat saya semata, kalo ada pihak yang merasa didiskriditkan, maka saya menerima sanggahan dan kritikannya. But remember, “I AM RESPONSIBLE FOR WHAT I SAID, NOT FOR WHAT YOU UNDERSTOOD.” (hud.)
  

0 comments: