"Selangkah anak perempuan keluar dari rumah tanpa menutup aurat, maka selangkah juga ayahnya hampir masuk neraka."
Sebuah ungkapan yang mempunyai maksud yang baik namun karena
kurangnya pengetahuan dasar tentang berbahasa mengakibatkan terjadinya
kesalah-kaprahan. (note: saya juga mungkin banyak mengalami kesalahan pahaman
masalah penulisan, jadi maklum saja ya)
Kalo kita telaah lebih lanjut, sebenarnya kita bisa memilah-milah
ungkapan di atas menjadi dua bagian. Bagian pertama, adalah bagian si anak yang
tidak menutup aurat kemudian ngeluyur. Bagian yang kedua adalah si ayah yang
hampir masuk neraka gara-gara anaknya yang keluyuran tidak menutup aurat.
Nah disinilah polemiknya, sempat dibawa ke dalam status
seorang teman di facebook untuk dibahas lebih lanjut, saya coba untuk
menganalisa sedikit tentang masalah ini. Cukup menggelitik juga kalo misalkan kata
selangkah tersebut kita jadikan variabel. Maka ketika variabel tersebut kita ganti
dengan bilangan yang lebih besar maka akan berbanding lurus dengan variabel
berikutnya. Dengan begitu, maka banyaknya langkah yang dibutuhkan oleh Ayah untuk
mendekati neraka semakin besar pula.
Dalam statusnya, teman saya berkata,
brarti lek anak e 1000 langkah kluar rumah tanpa menutup aurat, maka 1000 lagkah juga ayahnya hampir masuk neraka
tambah adoh brarti ya??? (Semakin jauh berarti ya???)
trolololololololol.........
Tidak bisa disalahkan juga teman saya berkata seperti itu,
karena memang besarannya berbanding lurus satu sama lain.
Sebenernya pertama kali membaca ungkapan tersebut, kita sudah
paham maksud dan tujuannya, bahkan dengan hanya sekali membaca saja. Padahal
setelah kita telaah lebih lanjut, ternyata semakin melenceng dari tujuan semula
kalimat tersebut. Nah inilah pentingnya berbahasa yang baik dan benar, bahkan
untuk masalah yang sangat sensitive (religius) seperti ini. Ketika kita pahami
lebih lanjut malah menyesatkan.
Fungsi dari diksi (pemilihan kata yang tepat) sangat
signifikan pada kata-kata di atas. Coba kalau penulis menggunakan kata surga,
daripada neraka. Maka ungkapan tersebut secara religius bisa diterima oleh akal
sehat para pembacanya (dengan asumsi orang tersebut religius) :P). Hal ini
sangat berbahaya bagi orang religius yang pinter yang “take anything for
granted” (biasanya sih orang yang fanatik, tapi kemudian setelah membaca
ungkapan di atas mereka dihadapkan pada paradoks, “haruskah mengikuti ungkapan
di atas, atau berpegang teguh pada apa yang diyakini? [menutup aurat.])
Kesimpulan dari tulisan ini: Belajarlah berbahasa yang baik
dan benar, pastikan kalimat tersebut tidak ambigu yang bisa menimbulkan kesalah
pahaman. Terutama kalimat yang bermakna religius. Karena sekarang jamannya
sudah edan, banyak sekali orang pinter. Salah kata sedikit akan menimbulkan
kesemrawutan, keruwetan, dan parahnya lagi kehancuran.
PS.: tulisan ini hanya sekedar opini atau pendapat saya
semata, kalo ada pihak yang merasa didiskriditkan, maka saya menerima sanggahan
dan kritikannya. But remember, “I AM RESPONSIBLE FOR WHAT I SAID, NOT FOR WHAT
YOU UNDERSTOOD.” (hud.)
0 comments:
Post a Comment